Jumat, 10 Januari 2020

Kode Etik Jurnalistik dan Pers yang Bebas dan Bertanggung Jawab

Kode Etik Jurnalistik dan Pers yang Bebas dan Bertanggung Jawab
A. Bentuk-bentuk Kode Etik
Dalam sejarah pers Indonesia, terdapat sejumlah kode etik yang dirumuskan dan diberlakukan oleh organisasi wartawan seperti PWI, AJI, dan kode etik yang dibuat bersama, yakni KEWI (Kode Etik Wartawan). Dewan pers yang terbentuk paska reformasi 1998 juga merumuskan dua kode etik, yakni kode praktik dan kode bisnis pers. Dengan demikian, jika diklarifikasikan terdapat tiga mode, yakni kode etik wartawan Indonesia, kode praktik bagi media pers, dan kode etik jurnalistik.

a. Kode Etik Wartawan Indonesia
Kemerdekaan pers merupakan sarana pemenuhan hak asasi manusia, yakni hak berkomunikasi dan memperoleh informasi. Wartawan Indonesia perlu menyadari adanya tanggung jawab sosial yang tercermin melalui pelaksanaan kode etik profesi secara jujur dan bertanggung jawab. Kode Etik Wartawan Indonesia atau KEWI merupakan kode etik yang disepakati semua organisasi wartawan cetak dan elektronik termasuk Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Himpunan Praktisi Penyiaran Indonesia (HPPI).

Kode etik disusun 26 organisasi wartawan di Bandung tahun 1999 dengan semangat memajukan jurnalisme di era kebebasan pers.
  1. Wartawan Indonesia menempuh tata cara yang etis untuk memperoleh dan menyiarkan informasi, serta memberikan identitas kepada sumber informasi.
  2. Wartawan Indonesia menghormati asas praduga tak bersalah, tidak mencampuri fakta dan opini, berimbang dan selalu meneliti kebenaran informasi, serta tidak melakukan plagiat.
  3. Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis, dan cabul, serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan susila.
  4. Wartawan Indonesia tidak menerima suap, dan tidak menyalahgunakan profesi.
  5. Wartawan Indonesia memiliki hak tolak, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang dan off the record sesuai kesepakatan.
  6. Wartawan Indonesia segera mencabut dan meralat dalam pemberitaan serta melayani hak jawab.
Pengawasan dan penetapan sanksi atas pelanggaran kode etik ini, sepenuhnya diserahkan kepada jajaran pers dan dilaksanakan oleh organisasi yang dibentuk untuk itu. Misalnya, Majelis Kode Etik di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Dewan Kehormatan di PWI.

Penafsiran Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI)
  1. Wartawan Indonesia menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar.
  2. Wartawan Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa melaporkan dan menyiarkan informasi secara faktual dan jelas sumbernya, tidak menyembunyikan fakta serta pendapat yang penting dan menarik yang perlu diketahui publik sebagai hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, akurat. Misalnya, kasus korupsi dan manipulasi di sebuah instansi pemerintah maupun swasta, konspirasi yang berniat menimbulkan kekacauan, wabah penyakit yang melanda wilayah tertentu, bahan makanan yang mengandung zat berbahaya atau tidak halal yang dikonsumsi oleh masyarakat atau publik.
  3. Wartawan Indonesia menempuh cara yang etis untuk memperoleh dan menyuarakan informasi serta memberikan identitas kepada sumber informasi.
  4. Wartawan Indonesia dalam memperoleh informasi dan sumber berita atau narasumber, termasuk dokumen dan memotret, dilakukan dengan cara-cara yang dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum, kaidah-kaidah kewartawanan, kecuali dalam hal investigative reporting.
  5. Wartawan Indonesia menghormati asas praduga tak bersalah, tidak mencampurkan fakta dan opini, berimbang dan selalu meneliti kebenaran informasi, serta tidak melakukan plagiat.
  6. Wartawan Indonesia dalam melaporkan dan menyiarkan informasi tidak menghakimi atau membuat kesimpulan kesalahan seseorang, terlebih lagi untuk kasus-kasus yang masih dalam proses peradilan. Wartawan tidak memasukan opini pribadinya. Wartawan sebaiknya dalam melaporkan dan menyiarkan informasi perlu meneliti kembali kebernaran informasi. Dalam sengketa dan perbedaan pendapat, masing-masing pihak harus diberikan ruang atau waktu pemberitaan secara berimbang.
  7. Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis, dan cabul, serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan susila.
  8. Wartawan Indonesia tidak melaporkan dan menyiarkan informasi yang tidak jelas sumber dan kebenarannya, rumor atau tuduhan tanpa dasar yang bersifat sepihak, informasi yang secara gamblang memperlihatkan aurat atau mengundang kontroversi publik. Untuk kasus tindak perkosaan atau pelecehan seksual, tidak menyebutkan identitas korban, untuk menjaga dan melindungi kehormatan korban.
  9. Wartawan Indonesia tidak menerima suap dan tidak menyalahgunakan profesi.
  10. Wartawan Indonesia selalu menjaga kehormatan profesi dengan tidak menerima imbalan dalam bentuk apapun dari sumber berita yang berkaitan tugas-tugas kewartawanannya, dan tidak menyalahgunakan profesi untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
  11. 1Wartawan Indonesia memiliki hak tolak, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang dan off the record sesuai kesepakatan.
  12. Wartawan Indonesia melindungi narasumber yang tidak bersedia disebut nama dan identitasnya. Berdasarkan kesepakatan, jika narasumber meminta informasi yang diberikan ditunda pemuatannya, harus dihargai. Hal itu berlaku juga untuk informasi latar belakang.
  13. Wartawan Indonesia segera mencabut dan meralat pemberitaan dan penyiaran yang keliru dan tidak akurat dengan disertai permintaan maaf. ralat ditempatkan pada halaman yang sama dengan informasi yang salah atau tidak akurat. Dalam hal pemberitaan yang merugikan seseorang atau kelompok, pihak yang dirugikan harus diberikan kesempatan untuk melakukan klarifikasi. Pengawasan dan penetapan sanksi terhadap pelanggaran kode etik ini, sepenuhnya diserahkan kepada jajaran insan pers dan dilaksanakan oleh organisasi yang dibentuk untuk itu.
b. Kode Praktik bagi Media Pers
Di luar kode etik jurnalistik yang telah disusun masing-masing organisasi wartawan. Dewan Pers menyusun Kode Praktik (Code of Practices) media sebagai upaya penegakan independensi serta penerapan prinsip pers mengatur sendiri (self regulated). Kode etik yang disusun ini juga berfungsi menjamin berlakunya etika dan standar jurnalis profesional serta media yang bertanggung jawab. Jika semua media patuh pada kode etik yang telah berlaku dan disepakati, diharapkan bisa menerapkan regulasi sendiri dan lepas dari ketentuan-ketentuan undang-undang atau peraturan khusus. Dewan pers memandang perlu disusun kode praktik yang berlaku bagi media untuk mempraktikan standardisasi kerja jurnalistik, yang meliputi sebagai berikut.

1) Akurasi (terpercaya)
  • Dalam menyebarkan informasi, pers wajib menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan individu atau kelompok.
  • Pers tidak menerbitkan informasi yang kurang akurat, menyesatkan, atau diputarbalikan, ketentuan ini juga berlaku untuk foto dan gambar.
  • Jika diketahui informasi yang dimuat atau disiarkan ternyata tidak akurat, menyesatkan, atau diputarbalikan, koreksi harus segera dilakukan jika perlu disertai permohonan maaf.
  • Pers wajib membedakan antara komentar, dugaan, dan fakta.
  • Pers menyiarkan secara seimbang dan akurat hal-hal yang menyangkut pertikaian yang melibatkan dua pihak.
  • Pers kritis terhadap sumber berita dan mengkaji fakta dengan hati-hati.
2) Privasi (Menghargai hak kepribadian orang yang diberitakan)
  • Setiap orang berhak dihormati privasinya, keluarga, rumah tangga, kesehatan, dan kerahasiaan surat-suratnya. Menerbitkan hal-hal di atas tanpa izin dianggap gangguan atas privasi seseorang.
  • Penggunaan kamera lensa panjang untuk memotret seseorang di wilayah privasi tanpa seijin yang bersangkutan tidak dibenarkan.
  • Wartawan tidak menelepon, bertanya, memaksa, atau memotret seseorang setelah diminta untuk menghentikan upaya itu.
  • Wartawan tidak boleh bertahan di kediaman nara sumber yang telah memintanya meninggalkan tempat, termasuk tidak membuntuti narasumber itu.
  • Wartawan dan fotografer tidak diperbolehkan memperoleh atau mencari informasi dan gambar melalui intimidasi, pelecehan, atau pemaksaan.
  • Pers wajib berhati-hati, menahan diri menerbitkan atau menyiarkan informasi yang dapat dikategorikan melanggar privasi, kecuali hal itu demi kepentingan publik.
  • Redaksi harus menjamin wartawannya mematuhi semua ketentuan tersebut, tidak menerbitkan bahan dari sumber-sumber yang tidak memenuhi ketentuan tersebut.
3) Pornografi
Pers tidak menyiarkan informasi dan produk visual yang diketahui menghina atau melecehkan perempuan. Media pornografi tidak termasuk kategori pers. Meski demikian adakalanya pers menyiarkan informasi, gambar yang dinilai menyinggung rasa kesopanan individu atau kelompok tertentu. Dalam penilaian pornografi harus disesuaikan dengan perkembangan zaman dan keragaman masyarakat.

4) Diskriminasi
  • Pers menghindari prasangka atau sikap merendahkan seseorang berdasarkan ras, warna kulit, agama, jenis kelamin atau kecenderungan seksual, terhadap kelemahan fisik dan mental, atau penyandang cacat.
  • Pers menghindari penulisan yang mendetail tentang ras seseorang, warna kulit, agama, kecenderungan seksual, dan terhadap kelemahan fisik dan mental atau penyandang cacat, kecuali hal itu secara langsung berkaitan dengan isi berita.
5) Liputan Kriminalitas
  • Pers menghindarkan identifikasi keluarga atau teman yang dituduh atau disangka melakukan kejahatan tanpa seizin mereka.
  • Pertimbangan khusus harus diperhatikan untuk kasus anak-anak yang menjadi saksi atau menjadi korban kejahatan.
  • Pers tidak boleh mengidentifikasi anak-anak di bawah umur yang terlibat dalam kasus serangan seksual, baik sebagai korban maupun saksi.
6) Cara-cara yang tidak dibenarkan
  • Jurnalis tidak memperoleh atau mencari informasi atau gambar melalui cara-cara yang tidak dibenarkan atau menggunakan dalih-dalih.
  • Dokumen atau foto hanya boleh diambil tanpa seijin pemiliknya.
  • Dalih dapat dibenarkan bila menyangkut kepentingan publik dan hanya ketika bahan berita tidak bisa diperoleh dengan cara-cara yang sewajarnya.
7) Sumber Rahasia
Pers memiliki kewajiban moral untuk melindungi sumber informasi rahasia atau konfidensial.

8) Hak Jawab dan Bantahan
  • Hak jawab atas berita yang tidak akurat harus dihormati.
  • Kesalahan dan ketidakakuratan wajib segera dikoreksi.
  • Koreksi dan sanggahan wajib diterbitkan segera.

c. Kode Etik Jurnalistik AJI (Aliansi Jurnalis Independen)
Kode etik Jurnalistik Indonesia adalah salah satu organisasi wartawan selain PWI, PWI Reformasi dan sebagainya.
  • Jurnalis menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar.
  • Jurnalis senantiasa mempertahankan prinsip-prinsip kebebasan dan keberimbangan dalam peliputan dan pemberitaan serta kritik dan komentar.
  • Jurnalis memberikan tempat bagi pihak yang kurang memiliki daya dan kesempatan untuk menyuarakan pendapatnya.
  • Jurnalis melaporkan fakta dan pendapat yang jelas sumbernya.
  • Jurnalis tidak menyembunyikan informasi penting yang perlu diketahui masyarakat.
  • Jurnalis menggunakan cara-cara yang etis untuk memperoleh berita, foto dan dokumen.
  • Jurnalis menghormati hak narasumber untuk memberi latar belakang, off the record, dan embargo.
  • Jurnalis segera meralat setiap pemberitaan yang diketahuinya tidak akurat.
  • Jurnalis menjaga kerahasiaan sumber informasi konfidensial, identitas korban kejahatan seksual, dan pelaku tindak pidana di bawah umur.
  • Jurnalis menghindari kebencian, prasangka, sikap merendahkan, diskriminasi, dalam masalah suku, ras, bangsa, dan jenis kelamin, orientasi seksual, bahasa, agama, pandangan politik, cacat atau sakit jasmani, cacat atau sakit mental, atau latar belakang sosial lainnya.
  • Jurnalis menghormati privasi, kecuali hal-hal itu dapat merugikan masyarakat.
  • Jurnalis tidak menyajikan berita dengan mengumbar kecabulan, kekejaman, kekerasan fisik dan seksual.
  • Jurnalis tidak memanfaatkan posisi dan informasi yang dimilikinya untuk mencari keuntungan pribadi.
  • Jurnalis tidak dibenarkan menerima sogokan.
  • Jurnalis tidak dibenarkan menjiplak.
  • Jurnalis menghindari fitnah dan pencemaran nama baik.
  • Jurnalis menghindari setiap campur tangan pihak-pihak lain yang menghambat pelaksanaan prinsip-prinsip di atas.
  • Kasus-kasus yang berhubungan dengan kode etik akan diselesaikan oleh Majelis Kode Etik. Berdasarkan kode etik di atas, diharapkan. Agar kebebasan pers yang diberikan dan dijamin sebagai hak asasi warga negara, tidak semena-mena digunakan untuk alat memojokkan atau menjatuhkan pihak tertentu. Namun kebebasan pers mengeluarkan pikiran atau pendapat dalam kehidupan demokrasi perlu diarahkan dan dibina agar dapat tumbuh sesuai nilai-nilai Pancasila, tidak merugikan orang lain atau kelompok tertentu.
Kode etik periklanan, ada 5;
  • Iklan harus bersifat membangun, bermanfaat, serta bebas dari cara-cara yang amoral (tidak bermoral), sosial dan sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.
  • Iklan harus melindungi hak dan kehormatan publik.
  • Dijawabkan, meralat secara layak dan memasang kembali iklan yang salah pasang.
  • Mencabut iklan yang dipasang oleh pihak yang memberi alamat palsu dengan itikad tidak baik.
  • Tidak benar pemasangan iklan tanpa persetujuan pemasang iklan yang bersangkutan.
Anda Perlu Tahu;
Sogokan adalah semua bentuk pembelian berupa uang, barang, atau fasilitas lain, yang secara langsung atau tidak langsung, dapat mempengaruhi jurnalis dalam membuat kerja jurnalistik.

Sumber: UU Pers No. 40/1999 
Dengan demikian, profesi di bidang pers termasuk di dalamnya jurnalistik, tidak hanya bertanggung jawab di dalam pelaksanaan pekerjaannya, melainkan bertanggung jawab pula kepada masyarakat dan pemerintahan.


B. Kode Etik Peliputan Pemilu
Memasuki masa-masa pemilihan umum (generale election), peran media massa begitu signifikan dalam membentuk opini dan mengarahkan sikap publik untuk memilih partai atau kandidat presiden. Kode etik amat diperlukan agar pers mampu memainkan peranan agenda setter yang bermuara pada penciptaan pemilu yang jujur, terbuka dan adil. Namun di Indonesia belum ada kode etik peliputan pemilu yang disepakati bersama, sehingga setiap menjelang pemilu sejumlah organisasi wartawan sibuk membuat rumusan kode etik. Dalam lokakarya peliputan pemilu 2004 yang diadakan lembaga pers Dr. Soetomo di Cianjur tanggal 21-25 April 2003, muncul kode etik berikut;
  • Pola dan tujuan pemberitaan pemilu hendaknya dirancang untuk membantu masyarakat memahami dengan baik sistem pemilu dan apa yang ditawarkan kontestan sehingga mereka dapat menyalurkan hak politiknya secara rasional dan objektif.
  • Media agar membentuk tim peliputan pemilu sedini mungkin, memahami berbagai perundangan terkait, membangun jaringan antar media dan lembaga yang terkait dengan pemilu 2004 guna mengembangkan akses data informasi dan mengurangi dampak negatif yang muncul. Gaya liputan investigasi hendaknya ditempuh untuk mengkaji track record para caleg (calon legislatif).
  • Media pers mendorong partai-partai politik menggunakan media massa dalam strategi kampanye mereka dari pada mengerahkan massanya ditempat terbuka. Untuk itu pemberitaan kampanye partai politik hendaknya berpusat pada pembeberan wacana substansial dan mengesampingkan aspek fisik pengerahan massa di tempat terbuka. Aspek dinamika partisipasi lokal hendaknya lebih ditonjolkan sehingga masyarakat lapis bawah lebih merasakan situasi dan kepentingan pemilu bagi perubahan kehidupan sosial ekonomi mereka.
Dalam UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD,  dan DPRD telah diatur soal kampanye pemilu melalui media cetak dan elektronik. Misalnya, Pasal 73 berbunyi sebagai berikut;
  1. Media elektronik dan media cetak memberikan kesempatan yang sama kepada peserta pemilu untuk menyampaikan tema dan materi kampanye pemilu.
  2. Media elektronik dan media cetak wajib memberikan kesempatan yang sama kepada peserta pemilu untuk memasang iklan pemilu dalam rangka kampanye. Pelaksanaan aturan ini sejalan dengan UU No. 40/1999, bahwa pers sebagai media harus memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, menegakkan nilai dasar demokrasi dan mendorong supremasi hukum. Tema dan materi kampanye layak siar apabila tidak melanggar Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) dan media tetap berwenang menentukan penyiaran kampanye berdasarkan pertimbangan nilai berita dan kekhususan karakter masing-masing media.
Hak Jawab dan Hak Tolak
Dalam bahasa Inggris disebut right of reply. Masyarakat punya kesadaran untuk menyampaikan kritik kepada pers melalui surat pembaca dan sejenisnya sebagai salah satu bentuk hak jawab, akan tetapi mekanisme keredaksian masih memiliki kelemahan sehingga masyarakat sering frustasi. Dalam UU No. 40/1999 Pasal 1 Ayat (11) disebutkan, hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya. Pasal 5 ayat 2 dan juga hampir semua kode etik jurnalistik mewajibkan pers melayani hak jawab. Wajib artinya harus dimuat.

Dalam beberapa kode etik jurnalistik, tercantum bahwa wartawan Indonesia dengan kesadaran sendiri secepatnya mencabut atau meralat setiap pemberitaan yang kemudian ternyata tidak akurat dan memberi kesempatan hak jawab secara proporsional pada sumber dan atau objek berita. Adapun isi jawaban harus terkait pokok persoalan dan disampaikan secara to the point.

UU No. 40/1999 Pasal 1 Ayat (10) menyebut hak tolak adalah hak wartawan karena profesinya untuk menolak mengungkapkan nama narasumber dan atau identitas sumber berita harus dirahasiakannya. Pertimbangan etis tertentu membuat wartawan harus menolak memberi keterangan dalam proses peradilan dan hakim harus menghormati keberatan itu. Pembukaan rahasia antara reporter narasumber yang telah disepakati sebelumnya dapat dianggap tindak pidana menurut Pasal 322 KUHP. Dalam praktik penulisan berita, pelaksanaan hak tolak ini dapat diwujudkan. Misalnya, melalui kata-kata “menurut sebuah sumber yang layak dipercaya”, atau “menurut kalangan berwajib”. Belakangan hak tolak itu dipakai secara tidak selektif dan bertendensi melindungi kelemahan reportase wartawan yang bersangkutan, bukan melindungi keselamatan dirinya atau narasumbernya sehingga harus ada batas-batas hak tolak wartawan. Kriteria “rahasia” haruslah diperjelas, yakni apabila ia dibuka kepada publik akan mengganggu ketertiban umum dan keselamatan negara. Wartawan hendaknya selalu bertanya apakah ada resiko keamanan dan ruginya kepentingan umum jika suatu rahasia dari narasumber dipublikasikan?

Ada dua model penyelesaian kasus pelanggaran kode etik baik menurut UU Pers maupun aturan main yang disepakati dan dirumuskan oleh dewan pers bersama DPR dan berbagai kelompok masyarakat terkait. Model penyelesaian kasus itu adalah sebagai berikut;
  1. Penyelesaian secara formal prosedural.
  2. Penyelesaian secara mandiri.
Dalam sidang tanggal 6 Juni 2000, Komisi I DPR sependapat dengan saran Dewan Pers agar penyelesaian kasus konflik media dengan publik ditempuh tiga jalur;
  1. Melalui pemenuhan hak jawab narasumber oleh media pers.
  2. Jika masih tidak puas, narasumber dapat mengadu atau meminta bantuan kepada Dewan Pers sesuai Pasal 15 Ayat (2) UU Pers No. 40/1999.
  3. Jika salah satu pihak tetap merasa tidak puas dengan rekomendasi Dewan Pers, ia dapat menempuh jalur hukum ke pengadilan.
Demikianlah ulasan mengenai “Kode Etik Jurnalistik dan Pers yang Bebas dan Bertanggung Jawab”, yang pada kesempatan ini, dapat dibahas di . Semoga bermanfaat bagi para pembaca!
Kode Etik Jurnalistik dan Pers yang Bebas dan Bertanggung Jawab Kode Etik Jurnalistik dan Pers yang Bebas dan Bertanggung Jawab
Kata kunci;
  • Kode Etik Jurnalistik,
  • Pers yang Bebas dan Bertanggung Jawab,
  • Bentuk-bentuk Kode Etik,
  • Kode Etik Wartawan Indonesia,
  • Kode etik disusun 26 organisasi wartawan di Bandung tahun 1999,
  • Penafsiran Kode Etik Wartawan Indonesia,
  • Kode Praktik bagi Media Pers,
  • Kode Etik Jurnalistik AJI
  • Kode etik periklanan.