Bambang Sriono, dari Pegawai Hotel Menjadi Juragan Kopi
Salah satu resep menjadi seorang entrepreneur sukses adalah memiliki mental yang tak pernah puas akan keadaan dan selalu bersemangat untuk terus belajar. Maka tak aneh jika banyak entrepreneur yang sukses menggawangi bisnisnya, meskipun tidak memiliki latar belakang pendidikan yang sesuai dengan bisnis yang dikelola. Seperti halnya Bambang Sriono, juragan kopi yang dulunya bekerja sebagai pegawai sebuah hotel.
Bermodalkan kebun seluas dua hektar, dan pengetahuan dari pelatihan, maka jadilah Bambang Sriono menjadi salah satu dari 14 pengusaha kopi bubuk di Kecamatan Sumberwringin, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur, yang terus bertahan hingga kini.
Bambang, yang juga Ketua Asosiasi Petani Kopi Indonesia (APEKI) Bondowoso, menyebutkan menjadi petani merupakan pekerjaan yang mendatangkan kesejahteraan dibandingkan dengan pekerjaan sebelumnya. Dan dengan menjadi seorang entrepreneur, Bambang yakin bahwa kehadiran usahanya akan membantu perekonomian warga, baik lokal hingga nasional.
"Jadi ilmu saya yang saya dapat dari Puslit (Pusat penelitian), saya terapkan. Ya, jadi modalnya kemauan. Kalau dilihat dari latar belakang pendidikan itu nggak ada. Saya dari teknik kimia. Sekarang petani kopi," ujar Bambang, seperti dikutip dari Kompas.com,
Menurut pria yang juga Ketua Forum 'Ahli' Pertanian Madani (Rumah Tani) Bondowoso, ilmu dan sumber daya alam Indonesia, khususnya tanah, menjadi modal yang mahal bagi seorang entrepreneur. Selain itu, kemauan untuk belajar dan terus belajar mencari inovasi baru, menjadi modal yang tak kalah pentingnya. Ia pun percaya, kendala dana akan bisa terpecahi dengan kualitas produk yang terbaik juga kemauan tersebut menjadi modal awalnya baginya, sehingga ia merasa tidak terkendala oleh dana.
“Jika produk kita baik dan memiliki potensi jual yang tinggi, modal saya rasa bukan suatu kendala. Contohnya, seperti kucuran dana Bank Indonesia lewat CSR(Corporate Social Responsbility)-nya. Terus, dari Puslit, ilmu dan teknologinya," ujarnya.
Ia pun mulai bertani sejak tahun 2000. Selang enam tahun kemudian, ia pun mulai menelurkan merek Rajawali, untuk kopi bubuk arabika dan robusta. Dengan tampilan yang sederhana, ternyata kopi Rajawali mendapatkan respon yang sangat baik dari masyarakat. Dengan saran dan dukungan Bupati setempat, Bambang pun akhirnya merubah kemasan kopi produknya sehingga terlihat lebih menarik.
Perubahan kemasan kopi ternyata cukup mendorong penjualan kopi Rajawali. Dari hanya Rp 3.500 per 200 gram, kini harganya mencapai Rp 8000 per 160 gram untuk robusta, Rp 15.000 untuk arabika dengan satuan berat yang sama.
Ia mengaku bahwa dialah petani yang mengawali memanen kopi dengan "petik merah," dan proses menggunakan proses basah (wet process), di Bondowoso. Apa maksudnya petik merah? Ia menyebutkan selama ini panen yang dilakukan petani di wilayah tersebut, masih mencampur antara biji kopi yang berwarna merah, kuning, dan hijau pada saat panen. Petik merah baru dilakukan di lima kelompok tani, atau sekitar 152 petani kopi, mulai tahun 2011 ini, setelah mendapatkan binaan langsung dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia.
"Nah, kalau kami sudah petik merah dari 2005. Jadi khusus yang buah merah segar dan sehat (BMSS), sebagai syarat untuk mendapatkan mutu berkualitas ekspor. Jadi saya yang pertama kali melakukan itu di tingkat petani di Bondowoso," sebutnya.
Menurut dia, sebenarnya pada pelatihan yang dikirim oleh Dinas Perkebunan dan Kehutanan Bondowoso tersebut, ada beberapa petani yang juga dikirim selain dirinya. Tetapi hanya dia yang mengaplikasikannya sendiri. Adapun proses basah adalah pengolahan pasca-panen dengan menggunakan air. Media ini digunakan untuk memisahkan biji yang bagus untuk diolah lebih lanjut dengan biji yang tidak bagus.
Cara pengerjaan ini memang terbilang repot, dan butuh ketelatenan. Oleh karena itu, ia menyebutkan, mungkin ini menjadi alasan dari petani yang juga ikut dikirim bersama dengan dia, tidak menerapkannya. Sekarang banyak yang tertarik ikut melakukan proses ini, setelah melihat harga yang didapat lumayan besar.
"Kalau sekarang ini dengan didampingi Puslit, terus ada BI, terus semuanya komponen ada. Rupanya kita jadi tahu pasarnya. Jadi lewat eksportir, kita sudah tahu harganya dan jelas pasarnya," ungkapnya.
Sekarang memang sudah dibangun kluster kopi di Bondowoso, oleh sejumlah pihak seperti Pemerintah Daerah Kabupaten Bondosowoso, Bank Indonesia, Bank Jatim, ADN Perhutani, eksportir, serta APEKI, untuk mengembangkan produk. Saat ini, ia pun mempunyai lima pekerja dalam mengolah kopi bubuknya, dan mengelola kebunnya yang seluas dua hektar.
Pada tahun 2007, produk kopi bubuk Rajawali, baik arabika dan robusta, dipasarkan ke Sumatera, termasuk Jakarta, Semarang, dan Malang. Namun, pemasaran ke kota-kota tersebut masih kecil, dengan 10-20 kilogram per bulannya. Awalnya pemasaran ke kota-kota tersebut, tidak dilakukan secara resmi.
Saat ini, ekspor produk Rajawali ini pun belum dilakukan. Ekspor masih dalam bentuk biji bersama dengan kelompok tani lainnya, yang melakukan pemasaran internasional secara perdana ke Swiss pada November nanti, sebanyak 1 kontainer atau sekitar 18 ton.
Lagipula, lanjut dia, produksi kopi ini pun masih terbatas. Sehingga memenuhi permintaan pasar masih sering kewalahan. Apalagi menjelang Hari Raya Lebaran, di mana banyak pesanan parcel diisi dengan produk kopinya. Rencana ke depan, ia berkeinginan untuk memperluas lahannya. Selain perluasan lahan, Bambang pun akan mencoba diversifikasi produk kopi, seperti buat dodol kopi, dan permen rasa kopi.
"Kalau mau mencermati nggak ada sejarahnya kopi bubuk itu harganya turun. Maka saya pun heran, kalau ada pelaku usaha kopi bubuk yang kurang menekuni usahanya,” pungkas Bambang yakin. (*/Gentur)