“Yah, inilah dia. Hasil yang bisa kutuliskan. Aku tak tau bagaimana lagi caranya untuk memberitahukannya padamu. Kurasa hanya inilah satu-satunya cara bagimana aku bisa menceritakan semuanya dengan benar. Semoga kau bisa mengerti.”
Begitulah kalimat pembuka surat yang aku terima seminggu yang lalu dari Eddie. Ia telah pindah dari komplek. Dengan membawa semua barang-barangnya — tak terkecuali.
Dari balik jendela ku lihat piano itu. Piano usang yang sering diceritakan Eddie, dipindahkan oleh orang-orang itu ke dalam truk rental biru yang sedang terparkir di depan rumahnya. Piano bergaya klasik yang bahkan hampir semua tutsnya rusak itu dipindahkan dari rumah Eddie ke dalam truk rental. Aku tak mengerti dengan jalan pikiran orang yang baru saja menjadi tetanggaku selama 2 bulan yang akan pindah lagi itu.
“Untuk apa piano tua itu diangkut juga?”
Mungkin untuk sebagian orang yang ingin pindah rumah, beberapa barang tua yang tidak bisa diperbaiki (dipakai) lagi, biasanya akan ditinggalkan di rumah lamanya. Atau bahkan dibuang, mungkin juga dibakar. Yah, setidaknya lebih baik disumbangkan. Namun lain halnya dengan orang ini. Dia begitu sentimentil dengan piano itu. Biar ku perjelas. Piano ini bermotif Weber Grand, yang tentu mahal harganya, bergaya klasik tahun 1900-an, berwarna hitam. Menurut cerita Eddie, ia mendapatkan piano itu dari kakeknya yang merupakan seorang pianis ulung pada zamannya. Ia juga mengatakan bahwa dulu, kakeknya itu pernah satu panggung dengan Scott Joplin asal texas itu. Kakeknya itu meninggal setahun setelah piano itu diberikannya pada Eddie.
Tuts piano itu hampir seluruhnya tidak berfungsi. Kayunya sudah lapuk dan ada yang berlubang karena dimakan rayap. Ia sering kali menyisipkan cerita tentang piano ini di sela-sela pembicaraan kami. Kadang-kadang aku berpikir kalau dia gila. Ia sering berkata kalau di setiap ia akan tidur, kakeknya selalu berada di depan piano itu dan memainkan sebuah lagu pengantar tidur baginya. “Hah, yang benar saja, orang ini gila”.
Yah, kau tentu menganggapnya gila. Aku juga demikian waktu itu. Tak di sangka ternyata orang gila itu seratus persen normal dan tak ada cacat mentalnya.
Yah, biar kuteruskan isi surat Eddie itu, agar kau mengerti maksudku.
“Kau tentu menganggap aku gila, iya kan? Tak apa bung, banyak orang menganggap aku begitu. Tapi ketahuilah, beberapa orang yang menganggap aku gila tadinya, sekarang telah menjadi pasien di rumah sakit jiwa. Aku tidak mengada-ada (bercanda) soal piano ini bung. Aku sendiri terkadang merasa takut, bahkan hampir gila akan hal ini. Ia berada di sana dan memainkan lagu gubahan Bach “Toccata and Fugue in D Minor” sewaktu aku akan tidur. Memang itulah kebiasaannya sejak aku ber-umur 10 tahun hingga ia meninggal. Aku pernah meninggalkan piano itu di rumah lamaku belum lama ini, dan kau tahu apa yang kutemukan? Piano itu berada di kamarku keesokan paginya. Aku tahu kau adalah seseorang yang memakai akal sehat atau logika untuk menyelesaikan semua permasalahan hidupmu. Begitu juga aku. Melihat kejadian ini, akal sehat tidak ada gunanya. Jika kau berada di posisiku saat ini, apa yang akan kau lakukan? Tidak ada penyelesaian kutemukan di sini, bung.”
Yah itulah dia. Penggalan isi surat Eddie yang masih kusimpan. Surat ini penuh dengan teka-teki yang tidak dimengerti.
Baik. Biar kuperkenalkan diriku terlebih dahulu.
Namaku Peter. Aku baru dua bulan bertetangga dengan orang ini. Bisa dibilang kami sudah akrab sebulan terakhir ini. Apalagi dia juga bekerja di tempat aku bekerja. Yah, kau tahu, menghabiskan waktu makan siang —waktu istirahat perusahaan— di meja yang sama, bekerja di perusahaan yang sama, di bidang yang sama dan tinggal di satu komplek yang sama. Tentu kami banyak mengobrol tentang keseharian kami. Aku sudah menikah dan mempunyai dua orang anak, laki-laki dan perempuan, sedang dia seorang duda yang ditinggal pergi istrinya karena tingkahnya yang aneh itu. Ia adalah seorang yang tertarik dengan musik, sama sepertiku hanya saja berbeda genre.
Kalau kau memperhatikannya, ia adalah orang yang pendiam, gugup, namun mengamati sesuatu di sekelilingnya dengan serius. Terkadang aku bingung melihatnya, ia adalah orang yang nyambung kalau diajak berbicara, topik apapun itu meskipun kelihatan ia berusaha untuk menyelaraskan suasana pembicaraan. Ia tidak memiliki anak, dia tinggal sendiri di rumahnya.
Terkadang ia aneh, terkadang ia kelihatan seperti orang normal. Itulah sebabnya kuanggap dia memiliki sedikit sakit jiwa. Biarpun begitu, aku tak pernah menjaga jarak terhadapnya.
Rumah kami hanya berjarak beberapa meter. Dipisahkan oleh sekumpulan pohon pinus yang rindang. Haah, begini saja. Kami tinggal di komplek perumahan yang cukup luas. Di komplek ini ada dua ratus kepala keluarga yang mendiami rumah mereka. Kalau kau mengunjungi komplek ini, kau akan menemui banyak pohon pinus. Itu karena komplek ini memang berada jauh di atas permukaan laut —di dataran tinggi. Di komplek ini terdapat jalan utama yang diapit oleh rumah-rumah bergaya Georgia. Jadi, pemisah antara rumah yang satu dengan yang lain adalah pohon pinus.
Akan ku lanjutkan ceritaku.
Begini, waktu itu, kalau tidak salah hari sabtu, saat aku diundangnya ke rumahnya bersama beberapa orang pria komplek. Aku melihat seseorang yang ikut masuk bersama-sama kami. Seingatku, dia sudah tua, umurnya kira-kira enam puluh tahun-an, memakai tuxedo warna hitam yang kelihatan usang. Selama aku menjadi warga di komplek, baru itulah aku melihat orang ini. Yang anehnya, aku tak melihatnya di rumah Eddie — dimana pun.
Mungkin, untuk sebagian orang yang berada pada posisiku tidak akan ambil pusing. Tapi kuberitahukan padamu. Dialah, kakek Eddie itu.
Biar kulanjutkan.
Sewaktu di dalam, beberapa dari kami asyik mengobrol satu sama lain di ruang tamu. Menikmati kacang goreng, menghisap rok*k dan beberapa botol wine yang disediakan Eddie saat itu. Yah, pesta ini sebenarnya dibuat dalam rangka agar satu sama lain? antar pria? lebih mengenal. Apalagi Eddie adalah warga baru di komplek ini. Yang ada di pesta ini semuanya pria.
Sedang Eddie dan para tetangga lain ngobrol, aku lebih tertarik dengan sebuah piano usang yang berada tak jauh dari tempat mereka ngobrol. Aku duduk di kursi piano itu dan mau memainkan satu lagu gubahan Bach “Minuet in G”. Sayangnya, lagu itu tak bisa kumainkan karena tutsnya hampir semuanya rusak.
Aku kembali ke tempat teman-teman satu komplek berkumpul. Ternyata mereka sedang asyik menonton pertandingan sepak bola. Aku yang tak mau terlihat kikuk, ikut nimbrung bersama mereka — walaupun aku tak suka pertandingan sepak bola.
Sesaat kemudian aku melihat ke arah kaca yang tergantung di depanku dan kudapati seseorang berada di belakangku.
“Orang inilah yang aku lihat sewaktu kami masuk ke rumah Eddie tadi” gumamku sambil melototkan mata ke arah matanya yang hitam itu. Semuanya hitam. Wajahnya pucat macam tak bernyawa. Ia tersenyum padaku. Lebar sekali. Sungguh lebar senyum itu. Aku menelan ludahku. Aku yang terkejut dan ketakutan, spontan melihat ke belakang. Anehnya, tak seorang pun kudapati.
Sesaat kemudian Eddie berkata kepadaku.
“Kau melihatnya ya? Maaf jika ia tadi tidak memperbolehkanmu memainkan pianonya. Ia sedikit pelit memang” katanya sambil melihat kaca itu.
Saat itu aku tak mengerti apa maksudnya. Ku kira saat itu penyakit anehnya kambuh lagi. Tapi ternyata itu bukanlah penyakit anehnya. Ia berkata dengan jujur. Kakeknya tidak memperbolehkan aku memainkan piano peninggalannya itu. Dan orang yang kulihat saat itu, memang adalah kakeknya.
Aku merinding setelah mengerti apa yang dimaksudkan Eddie waktu itu.
“Maksudnya?” tanyaku heran dengan sedikit mengerutkan dahi
“Yah, kau tahu” Eddie berhenti sebentar “dia adalah seorang pianis ulung. Dia selalu beranggapan kalau pianonya disentuh orang, maka permainannya jadi jelek”
“Ooh” jawabku tak mengerti. Tapi aku masih takut. Takut sekali.
Jam sudah menunjukkan pukul dua pagi, yang artinya sudah hari minggu. Beberapa dari kami bahkan sudah tertidur di sofa Eddie, ada juga yang mabuk. Pertandingan sepak bola yang kami tonton tadi sudah sejam yang lalu berakhir. Aku yang masih setengah mengantuk sekaligus setengah mabuk, berpamitan pulang pada Eddie yang masih terjaga.
“Sepertinya sudah pagi. Lebih baik aku sudah berada di tempat tidur sekarang, sebelum istriku tidak mendapatiku di sampingnya.” Pamitku dengan mata yang hampir setengah menutup.
“Oh, tentu, silahkan. Akan kuantar.”
“Tak apa, aku bisa sendiri. Lebih baik kau bangunkan mereka sebelum istri mereka yang membangunkan.”
“Hahaha, baiklah.” Tawa Eddie — seakan dibuat-buat.
“Sampai ketemu lagi”
“Yah”
Ku tinggalkan rumah Eddie. Tak ku lihat lagi ke belakang. Jalanku sempoyongan akibat pengaruh wine yang kuminum. Itulah kali pertama aku minum wine terlalu banyak hingga membuatku mabuk. Samar-samar kulihat seseorang bermain piano di jalan utama.
“Siapa malam-malam begini…” ucapku pelan
Kudekati dan kutepuk pundak pemain piano yang sedang memainkan lagu “Fur Elise” karya Beethoven itu sambil sempoyongan. Dan sontak ia berhenti bermain. Aku yang setengah mabuk, berfikir kalau dia adalah orang yang kurang kerjaan.
“H-hey bung. Lebih baik kau bermain besok pagi saja—” Aku berhenti sebentar untuk cegukan “kau akan membangunkan seisi komplek karena permainanmu itu.”
Lalu kutinggalkan ia di situ. Kulihat lagi ke belakang dan ia sudah menghilang. Aku tertawa kecil. Kupikir waktu itu dia mendengarkan nasehatku dan langsung pergi membawa pianonya pulang.
Aku bangun kesiangan hari itu. Istri dan anakku sudah pergi ke gereja. Kuturuni tangga dan kudapati secangkir kopi yang masih panas di atas meja.
“Pasti mereka belum lama pergi” gumamku dalam hati.
Ku nyalakan TV dan program yang langsung terbuka adalah program acara TV lama. Kali ini temanya mengenai musisi-musisi ulung yang pernah berjaya di masanya.
Aku merasa bosan setiap kali melihat acara yang tidak berguna itu. Tapi ada sesuatu yang berbeda. Aku melihat seseorang yang kulihat kemarin malam bermain (duet) bersama Scott Joplin. Dan aku tak mungkin salah. Dialah orang yang bermain piano di jalan utama itu.
Kemudian kurekam sebagian acara itu ke dalam kaset. Sekitar setengah jam. Kemudian aku berlari ke arah rumah Eddie. Entah mengapa dan apa hubungannya, tiba-tiba saja muncul di benakku kalau Eddie pasti mengetahui semua ini.
Saat hampir sampai ke rumahnya, kudengar samar-samar suara piano sedang memainkan lagu dari arah rumah Eddie. Kudekati perlahan dan mencoba mendengar lebih jelas lagu apa itu. Aku terkejut setelah mengetahui kalau itu lagu “Minuet in G” gubahan Bach. Dan tanpa ada kesalahan, seperti tutsnya tidak rusak.. Tidak seperti kemarin malam waktu aku memainkannya.
“Eddie! Kenapa… ia pasti di dalam.“ ucapku pelan.
“Hei!”
Sebuah suara mengejutkanku dari arah belakang. Ternyata itu Eddie. Dia tidak ada di dalam. Kelihatan ia habis berbelanja dari swalayan.
“Sedang apa?” lanjutnya
“i-i-itu. Piano itu. Apakah a-a-ada orang di dalam?” tanyaku tersendat-sendat. Seperti ada sesuatu yang tersangkut di tenggorokanku.
“Oh itu. Yah itulah yang ku katakan kemarin malam” Eddie berhenti sebentar, lalu menambahkan “kakekku yang bermain.” Sambil mengeluarkan kunci dari sakunya untuk membuka pintu pagar rumahnya.
“Kakekmu?” tanyaku heran. Aku tak mengerti dengan orang ini. “Bukankah dia sudah meninggal?” lanjutku.
“Yah, tadinya kupikir juga demikian.” Jawabnya yang terus berusaha membuka kunci pagarnya yang sudah berkarat itu
Tanpa kusadari ternyata aku berkeringat. Padahal pagi itu cuaca tidak panas. Aku keringat dingin. Ada apa dengan orang ini? Ku pikir dia pasti tinggal dengan hantu kakeknya di rumah ini. Tapi mengapa ia seperti tidak ada apa-apa.
“Nah sudah terbuka, mau masuk?” kata Eddie yang membuyarkan lamunanku.
“Oh, tidak, terima kasih. Mungkin lain waktu. Oh ya, kau tidak ke gereja?” tanyaku. Hanya basa-basi. Agar kelihatan tidak seperti orang yang ingin mencari tahu sesuatu.
“Oh, biasanya aku pergi. Sama sepertimu. Hanya saja hari ini aku kesiangan.” Jawabnya dengan senyum anehnya itu. Ku perhatikan ekspresi wajah itu. Ia seperti ketakutan sewaktu masuk ke rumahnya sendiri —namun ia tetap tersenyum—. “Baiklah jika tidak mau masuk, aku akan masuk duluan. Sampai jumpa” katanya, seolah-olah ada yang ia sembunyikan.
Aku berjalan perlahan menuju rumah. Berpikir apa yang terjadi dengannya dan piano itu.
“Ah! Betapa bodohnya aku—” ucapku sambil menepuk dahi. “Aku lupa memberitahukannya mengenai acara TV yang aku rekam tadi.”
Hahh. Begitulah. Akan kulanjutkan isi surat Eddie.
“Kau tahu? Piano itu berarti banyak bagi kakekku. Ia membelinya dengan hasil kerja kerasnya sendiri sebagai pianis. Dari nol. Piano ini adalah seluruh tabungannya. Kau pasti tahu bagaimana rasanya. Ketika seseorang menyentuh sesuatu yang kau dapatkan dengan susah payah. Kakekku menyayangiku sebagaimana ia menyayangi pianonya itu. Itulah sebabnya sebelum ia meninggal ia memberikan pianonya padaku bukan pada siapa-siapa.
Oh ya, kau melihatnya kemarin, kan? Sewaktu kita berpesta di rumahku. Bagaimana menurutmu? Tampan, kan? Aku melihatnya di belakangmu kemarin saat kau tengah bermain-main dengan pianonya. Aku hanya bisa tertawa waktu itu, karena ia tidak mengijinkanmu memainkan lagu Minuet itu. Hahaha…
Dan orang yang kemarin malam kau lihat sedang bermain piano di jalan utama. Itu juga kakekku. Bagaimana permainannya? Bagus, kan?. Ia jugalah yang kau lihat di TV hari itu.
Ya sudahlah. Setelah aku pindah. Kau tidak akan mendengar suara piano yang aneh lagi di komplek. Kau bisa tidur dengan tenang sekarang, bung.
Salam,
Eddie
Sebagai catatan: jangan memainkan lagu Toccata saat malam-malam.”
Itulah surat Eddie yang sampai sekarang memenuhi otakku. Surat ini dan kejadian yang kulalui dengannya penuh dengan teka-teki. Pertanyaan yang masih terombang-ambing di otakku adalah, darimana ia tahu kalau aku membuka acara TV hari itu? Kalau mengenai orang yang bermain piano di jalan utama itu, mungkin saja ia melihatku berjalan kemarin dari balik jendelanya.
Tapi, muncul cerita yang lain lagi. Dan kali ini aku hampir gila karenanya. Biar aku ceritakan.
Keesokan harinya aku menerima sebuah paket dari Eddie. Dan tanpa kuduga-duga ternyata paket itu adalah piano usang peninggalan kakeknya. Dan kau tahu apa lagi? Eddie ternyata sudah meninggal semalam.
Cerpen Karangan: Agustinus Pieter
Facebook: https://www.facebook.com/PeterVanMarkz
Begitulah kalimat pembuka surat yang aku terima seminggu yang lalu dari Eddie. Ia telah pindah dari komplek. Dengan membawa semua barang-barangnya — tak terkecuali.
Dari balik jendela ku lihat piano itu. Piano usang yang sering diceritakan Eddie, dipindahkan oleh orang-orang itu ke dalam truk rental biru yang sedang terparkir di depan rumahnya. Piano bergaya klasik yang bahkan hampir semua tutsnya rusak itu dipindahkan dari rumah Eddie ke dalam truk rental. Aku tak mengerti dengan jalan pikiran orang yang baru saja menjadi tetanggaku selama 2 bulan yang akan pindah lagi itu.
“Untuk apa piano tua itu diangkut juga?”
Mungkin untuk sebagian orang yang ingin pindah rumah, beberapa barang tua yang tidak bisa diperbaiki (dipakai) lagi, biasanya akan ditinggalkan di rumah lamanya. Atau bahkan dibuang, mungkin juga dibakar. Yah, setidaknya lebih baik disumbangkan. Namun lain halnya dengan orang ini. Dia begitu sentimentil dengan piano itu. Biar ku perjelas. Piano ini bermotif Weber Grand, yang tentu mahal harganya, bergaya klasik tahun 1900-an, berwarna hitam. Menurut cerita Eddie, ia mendapatkan piano itu dari kakeknya yang merupakan seorang pianis ulung pada zamannya. Ia juga mengatakan bahwa dulu, kakeknya itu pernah satu panggung dengan Scott Joplin asal texas itu. Kakeknya itu meninggal setahun setelah piano itu diberikannya pada Eddie.
Tuts piano itu hampir seluruhnya tidak berfungsi. Kayunya sudah lapuk dan ada yang berlubang karena dimakan rayap. Ia sering kali menyisipkan cerita tentang piano ini di sela-sela pembicaraan kami. Kadang-kadang aku berpikir kalau dia gila. Ia sering berkata kalau di setiap ia akan tidur, kakeknya selalu berada di depan piano itu dan memainkan sebuah lagu pengantar tidur baginya. “Hah, yang benar saja, orang ini gila”.
Yah, kau tentu menganggapnya gila. Aku juga demikian waktu itu. Tak di sangka ternyata orang gila itu seratus persen normal dan tak ada cacat mentalnya.
Yah, biar kuteruskan isi surat Eddie itu, agar kau mengerti maksudku.
“Kau tentu menganggap aku gila, iya kan? Tak apa bung, banyak orang menganggap aku begitu. Tapi ketahuilah, beberapa orang yang menganggap aku gila tadinya, sekarang telah menjadi pasien di rumah sakit jiwa. Aku tidak mengada-ada (bercanda) soal piano ini bung. Aku sendiri terkadang merasa takut, bahkan hampir gila akan hal ini. Ia berada di sana dan memainkan lagu gubahan Bach “Toccata and Fugue in D Minor” sewaktu aku akan tidur. Memang itulah kebiasaannya sejak aku ber-umur 10 tahun hingga ia meninggal. Aku pernah meninggalkan piano itu di rumah lamaku belum lama ini, dan kau tahu apa yang kutemukan? Piano itu berada di kamarku keesokan paginya. Aku tahu kau adalah seseorang yang memakai akal sehat atau logika untuk menyelesaikan semua permasalahan hidupmu. Begitu juga aku. Melihat kejadian ini, akal sehat tidak ada gunanya. Jika kau berada di posisiku saat ini, apa yang akan kau lakukan? Tidak ada penyelesaian kutemukan di sini, bung.”
Yah itulah dia. Penggalan isi surat Eddie yang masih kusimpan. Surat ini penuh dengan teka-teki yang tidak dimengerti.
Baik. Biar kuperkenalkan diriku terlebih dahulu.
Namaku Peter. Aku baru dua bulan bertetangga dengan orang ini. Bisa dibilang kami sudah akrab sebulan terakhir ini. Apalagi dia juga bekerja di tempat aku bekerja. Yah, kau tahu, menghabiskan waktu makan siang —waktu istirahat perusahaan— di meja yang sama, bekerja di perusahaan yang sama, di bidang yang sama dan tinggal di satu komplek yang sama. Tentu kami banyak mengobrol tentang keseharian kami. Aku sudah menikah dan mempunyai dua orang anak, laki-laki dan perempuan, sedang dia seorang duda yang ditinggal pergi istrinya karena tingkahnya yang aneh itu. Ia adalah seorang yang tertarik dengan musik, sama sepertiku hanya saja berbeda genre.
Kalau kau memperhatikannya, ia adalah orang yang pendiam, gugup, namun mengamati sesuatu di sekelilingnya dengan serius. Terkadang aku bingung melihatnya, ia adalah orang yang nyambung kalau diajak berbicara, topik apapun itu meskipun kelihatan ia berusaha untuk menyelaraskan suasana pembicaraan. Ia tidak memiliki anak, dia tinggal sendiri di rumahnya.
Terkadang ia aneh, terkadang ia kelihatan seperti orang normal. Itulah sebabnya kuanggap dia memiliki sedikit sakit jiwa. Biarpun begitu, aku tak pernah menjaga jarak terhadapnya.
Rumah kami hanya berjarak beberapa meter. Dipisahkan oleh sekumpulan pohon pinus yang rindang. Haah, begini saja. Kami tinggal di komplek perumahan yang cukup luas. Di komplek ini ada dua ratus kepala keluarga yang mendiami rumah mereka. Kalau kau mengunjungi komplek ini, kau akan menemui banyak pohon pinus. Itu karena komplek ini memang berada jauh di atas permukaan laut —di dataran tinggi. Di komplek ini terdapat jalan utama yang diapit oleh rumah-rumah bergaya Georgia. Jadi, pemisah antara rumah yang satu dengan yang lain adalah pohon pinus.
Akan ku lanjutkan ceritaku.
Begini, waktu itu, kalau tidak salah hari sabtu, saat aku diundangnya ke rumahnya bersama beberapa orang pria komplek. Aku melihat seseorang yang ikut masuk bersama-sama kami. Seingatku, dia sudah tua, umurnya kira-kira enam puluh tahun-an, memakai tuxedo warna hitam yang kelihatan usang. Selama aku menjadi warga di komplek, baru itulah aku melihat orang ini. Yang anehnya, aku tak melihatnya di rumah Eddie — dimana pun.
Mungkin, untuk sebagian orang yang berada pada posisiku tidak akan ambil pusing. Tapi kuberitahukan padamu. Dialah, kakek Eddie itu.
Biar kulanjutkan.
Sewaktu di dalam, beberapa dari kami asyik mengobrol satu sama lain di ruang tamu. Menikmati kacang goreng, menghisap rok*k dan beberapa botol wine yang disediakan Eddie saat itu. Yah, pesta ini sebenarnya dibuat dalam rangka agar satu sama lain? antar pria? lebih mengenal. Apalagi Eddie adalah warga baru di komplek ini. Yang ada di pesta ini semuanya pria.
Sedang Eddie dan para tetangga lain ngobrol, aku lebih tertarik dengan sebuah piano usang yang berada tak jauh dari tempat mereka ngobrol. Aku duduk di kursi piano itu dan mau memainkan satu lagu gubahan Bach “Minuet in G”. Sayangnya, lagu itu tak bisa kumainkan karena tutsnya hampir semuanya rusak.
Aku kembali ke tempat teman-teman satu komplek berkumpul. Ternyata mereka sedang asyik menonton pertandingan sepak bola. Aku yang tak mau terlihat kikuk, ikut nimbrung bersama mereka — walaupun aku tak suka pertandingan sepak bola.
Sesaat kemudian aku melihat ke arah kaca yang tergantung di depanku dan kudapati seseorang berada di belakangku.
“Orang inilah yang aku lihat sewaktu kami masuk ke rumah Eddie tadi” gumamku sambil melototkan mata ke arah matanya yang hitam itu. Semuanya hitam. Wajahnya pucat macam tak bernyawa. Ia tersenyum padaku. Lebar sekali. Sungguh lebar senyum itu. Aku menelan ludahku. Aku yang terkejut dan ketakutan, spontan melihat ke belakang. Anehnya, tak seorang pun kudapati.
Sesaat kemudian Eddie berkata kepadaku.
“Kau melihatnya ya? Maaf jika ia tadi tidak memperbolehkanmu memainkan pianonya. Ia sedikit pelit memang” katanya sambil melihat kaca itu.
Saat itu aku tak mengerti apa maksudnya. Ku kira saat itu penyakit anehnya kambuh lagi. Tapi ternyata itu bukanlah penyakit anehnya. Ia berkata dengan jujur. Kakeknya tidak memperbolehkan aku memainkan piano peninggalannya itu. Dan orang yang kulihat saat itu, memang adalah kakeknya.
Aku merinding setelah mengerti apa yang dimaksudkan Eddie waktu itu.
“Maksudnya?” tanyaku heran dengan sedikit mengerutkan dahi
“Yah, kau tahu” Eddie berhenti sebentar “dia adalah seorang pianis ulung. Dia selalu beranggapan kalau pianonya disentuh orang, maka permainannya jadi jelek”
“Ooh” jawabku tak mengerti. Tapi aku masih takut. Takut sekali.
Jam sudah menunjukkan pukul dua pagi, yang artinya sudah hari minggu. Beberapa dari kami bahkan sudah tertidur di sofa Eddie, ada juga yang mabuk. Pertandingan sepak bola yang kami tonton tadi sudah sejam yang lalu berakhir. Aku yang masih setengah mengantuk sekaligus setengah mabuk, berpamitan pulang pada Eddie yang masih terjaga.
“Sepertinya sudah pagi. Lebih baik aku sudah berada di tempat tidur sekarang, sebelum istriku tidak mendapatiku di sampingnya.” Pamitku dengan mata yang hampir setengah menutup.
“Oh, tentu, silahkan. Akan kuantar.”
“Tak apa, aku bisa sendiri. Lebih baik kau bangunkan mereka sebelum istri mereka yang membangunkan.”
“Hahaha, baiklah.” Tawa Eddie — seakan dibuat-buat.
“Sampai ketemu lagi”
“Yah”
Ku tinggalkan rumah Eddie. Tak ku lihat lagi ke belakang. Jalanku sempoyongan akibat pengaruh wine yang kuminum. Itulah kali pertama aku minum wine terlalu banyak hingga membuatku mabuk. Samar-samar kulihat seseorang bermain piano di jalan utama.
“Siapa malam-malam begini…” ucapku pelan
Kudekati dan kutepuk pundak pemain piano yang sedang memainkan lagu “Fur Elise” karya Beethoven itu sambil sempoyongan. Dan sontak ia berhenti bermain. Aku yang setengah mabuk, berfikir kalau dia adalah orang yang kurang kerjaan.
“H-hey bung. Lebih baik kau bermain besok pagi saja—” Aku berhenti sebentar untuk cegukan “kau akan membangunkan seisi komplek karena permainanmu itu.”
Lalu kutinggalkan ia di situ. Kulihat lagi ke belakang dan ia sudah menghilang. Aku tertawa kecil. Kupikir waktu itu dia mendengarkan nasehatku dan langsung pergi membawa pianonya pulang.
Aku bangun kesiangan hari itu. Istri dan anakku sudah pergi ke gereja. Kuturuni tangga dan kudapati secangkir kopi yang masih panas di atas meja.
“Pasti mereka belum lama pergi” gumamku dalam hati.
Ku nyalakan TV dan program yang langsung terbuka adalah program acara TV lama. Kali ini temanya mengenai musisi-musisi ulung yang pernah berjaya di masanya.
Aku merasa bosan setiap kali melihat acara yang tidak berguna itu. Tapi ada sesuatu yang berbeda. Aku melihat seseorang yang kulihat kemarin malam bermain (duet) bersama Scott Joplin. Dan aku tak mungkin salah. Dialah orang yang bermain piano di jalan utama itu.
Kemudian kurekam sebagian acara itu ke dalam kaset. Sekitar setengah jam. Kemudian aku berlari ke arah rumah Eddie. Entah mengapa dan apa hubungannya, tiba-tiba saja muncul di benakku kalau Eddie pasti mengetahui semua ini.
Saat hampir sampai ke rumahnya, kudengar samar-samar suara piano sedang memainkan lagu dari arah rumah Eddie. Kudekati perlahan dan mencoba mendengar lebih jelas lagu apa itu. Aku terkejut setelah mengetahui kalau itu lagu “Minuet in G” gubahan Bach. Dan tanpa ada kesalahan, seperti tutsnya tidak rusak.. Tidak seperti kemarin malam waktu aku memainkannya.
“Eddie! Kenapa… ia pasti di dalam.“ ucapku pelan.
“Hei!”
Sebuah suara mengejutkanku dari arah belakang. Ternyata itu Eddie. Dia tidak ada di dalam. Kelihatan ia habis berbelanja dari swalayan.
“Sedang apa?” lanjutnya
“i-i-itu. Piano itu. Apakah a-a-ada orang di dalam?” tanyaku tersendat-sendat. Seperti ada sesuatu yang tersangkut di tenggorokanku.
“Oh itu. Yah itulah yang ku katakan kemarin malam” Eddie berhenti sebentar, lalu menambahkan “kakekku yang bermain.” Sambil mengeluarkan kunci dari sakunya untuk membuka pintu pagar rumahnya.
“Kakekmu?” tanyaku heran. Aku tak mengerti dengan orang ini. “Bukankah dia sudah meninggal?” lanjutku.
“Yah, tadinya kupikir juga demikian.” Jawabnya yang terus berusaha membuka kunci pagarnya yang sudah berkarat itu
Tanpa kusadari ternyata aku berkeringat. Padahal pagi itu cuaca tidak panas. Aku keringat dingin. Ada apa dengan orang ini? Ku pikir dia pasti tinggal dengan hantu kakeknya di rumah ini. Tapi mengapa ia seperti tidak ada apa-apa.
“Nah sudah terbuka, mau masuk?” kata Eddie yang membuyarkan lamunanku.
“Oh, tidak, terima kasih. Mungkin lain waktu. Oh ya, kau tidak ke gereja?” tanyaku. Hanya basa-basi. Agar kelihatan tidak seperti orang yang ingin mencari tahu sesuatu.
“Oh, biasanya aku pergi. Sama sepertimu. Hanya saja hari ini aku kesiangan.” Jawabnya dengan senyum anehnya itu. Ku perhatikan ekspresi wajah itu. Ia seperti ketakutan sewaktu masuk ke rumahnya sendiri —namun ia tetap tersenyum—. “Baiklah jika tidak mau masuk, aku akan masuk duluan. Sampai jumpa” katanya, seolah-olah ada yang ia sembunyikan.
Aku berjalan perlahan menuju rumah. Berpikir apa yang terjadi dengannya dan piano itu.
“Ah! Betapa bodohnya aku—” ucapku sambil menepuk dahi. “Aku lupa memberitahukannya mengenai acara TV yang aku rekam tadi.”
Hahh. Begitulah. Akan kulanjutkan isi surat Eddie.
“Kau tahu? Piano itu berarti banyak bagi kakekku. Ia membelinya dengan hasil kerja kerasnya sendiri sebagai pianis. Dari nol. Piano ini adalah seluruh tabungannya. Kau pasti tahu bagaimana rasanya. Ketika seseorang menyentuh sesuatu yang kau dapatkan dengan susah payah. Kakekku menyayangiku sebagaimana ia menyayangi pianonya itu. Itulah sebabnya sebelum ia meninggal ia memberikan pianonya padaku bukan pada siapa-siapa.
Oh ya, kau melihatnya kemarin, kan? Sewaktu kita berpesta di rumahku. Bagaimana menurutmu? Tampan, kan? Aku melihatnya di belakangmu kemarin saat kau tengah bermain-main dengan pianonya. Aku hanya bisa tertawa waktu itu, karena ia tidak mengijinkanmu memainkan lagu Minuet itu. Hahaha…
Dan orang yang kemarin malam kau lihat sedang bermain piano di jalan utama. Itu juga kakekku. Bagaimana permainannya? Bagus, kan?. Ia jugalah yang kau lihat di TV hari itu.
Ya sudahlah. Setelah aku pindah. Kau tidak akan mendengar suara piano yang aneh lagi di komplek. Kau bisa tidur dengan tenang sekarang, bung.
Salam,
Eddie
Sebagai catatan: jangan memainkan lagu Toccata saat malam-malam.”
Itulah surat Eddie yang sampai sekarang memenuhi otakku. Surat ini dan kejadian yang kulalui dengannya penuh dengan teka-teki. Pertanyaan yang masih terombang-ambing di otakku adalah, darimana ia tahu kalau aku membuka acara TV hari itu? Kalau mengenai orang yang bermain piano di jalan utama itu, mungkin saja ia melihatku berjalan kemarin dari balik jendelanya.
Tapi, muncul cerita yang lain lagi. Dan kali ini aku hampir gila karenanya. Biar aku ceritakan.
Keesokan harinya aku menerima sebuah paket dari Eddie. Dan tanpa kuduga-duga ternyata paket itu adalah piano usang peninggalan kakeknya. Dan kau tahu apa lagi? Eddie ternyata sudah meninggal semalam.
Cerpen Karangan: Agustinus Pieter
Facebook: https://www.facebook.com/PeterVanMarkz
Ini merupakan cerita pendek karangan Agustinus Pieter, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya di: Agustinus Pieter untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatan penulis yang telah di terbitkan di cerpenmu, jangan lupa juga untuk menandai Penulis cerpen Favoritmu di Cerpenmu.com!
Sumber
Lagi Kisah Seram: Ghost Stories Club