Minggu, 26 April 2020

Abimanyu Krama


Prabu Sri Batara Kresna, di pendapa agung sedang duduk di atas singgasana kursi gading, menerima kehadiran kakanda prabu Baladewa raja di kerajaan Mandura, yang diikuti oleh puteranya yang bernama Raden Walsatha dan Patih Pragota.

Sedangkan yang ikut menghadap dalam pertemuan besar (pasewakan) di istana raja selain dari kerajaan Mandura adalah para punggawa kerajaan Dwarawati di antaranya adalah Raden Patih Hariya Udawa, putera mahkota Raden Jayasamba, dan Raden Harya Setyaki.

Dalam persidangannya, sang prabu Baladewa mengusulkan pembatalan perkawinan Abimanyu atau Angkawijaya dengan Siti Sundari putri mahkota Dwarawati. Sri Batara Kresna hanya terserah saja kepada prabu Baladewa. Akhirnya Raden Walsatha bersama Raden Jayasamba diutus untuk menyerahkan surat penggagalan perkawinan Siti Sundari dengan Angkawijaya ke Raden Janaka atas perintah prabu Baladewa.

Keberangkatan Walsatha dan Jayasamba dari Dwarawati menjadikan prabu Baladewa menjadi lega. Namun tidak lama kemudian hadirlah seorang utusan dari Kerajaan Rancang Kencana yang rajanya bernama prabu Kala Kumara. Utusan yang bernama patih Kala Rancang menghaturkan surat lamaran . Isi surat tersebut ada lah sang Prabu Kala kumara menghendaki Siti Sundari untuk bersedia menjadi istrinya. Terjadilah pertengkaran mulut yang kemudian meningkat dan menjadi adu kekuatan fisik di alun-alun Dwarawati.

Di alun-alun Dwarawati terjadilah perang antara prajurit dari Mandura melawan prajurit Rancang Kencana. Berkat kekuatan prabu Baladewa semua prajurit Rancang Kencana mundur ketakutan.

Sri Batara Kresna yang sekembalinya dari kerajaan langsung bersemedi dibalai semedi (sanggar pamujan), berdoa agar persiapan perkawinan Siti Sundari yang kurang 5 hari itu bisa berjalan dengan lancar, dan kiranya Jayasamba dan Walsatha yang diutus ke kasatriyan Madukara dijauhkan dari mara bahaya.

-==Jejer Kasatriyan Madukara.=--

Raden Janaka sedang duduk di atas kursi gading. Dalam persidangan di Kasatriyan Madukara dihadiri Raden Angkawijaya, Raden Gathotkaca beserta pada panakawan Semar, Bagong dan Besut.

Pembicaraan yang diungkapkan adalah mengenai akan berlangsungnya perkawinan Raden Angkawijaya dengan Siti Sundari yang waktunya tinggal 5 hari. Belum lama berselang dalam pembicaraan itu, datanglah Raden Walsatha dan Raden Jayasamba menghadap serta menghaturkan sembah. Setelah duduk dengan tenang, maka segera di tanyakan apa keperluannya. Kedua-duanya menjawab bahwa kehadirannya diutus menyampaikan surat yang dikirim dari rama Prabu Baladewa untuk Raden Janaka.

Setelah surat dibaca oleh Raden Janaka, marahlah ia, surat dirobek-robek hingga hancur. Raden Angkawijaya peka terhadap keadaan tersebut sehingga mengetahui bahwa isi surat itu adalah pembatalan perkawinannya atas perintah prabu Baladewa. Maka marahlah Angkawijaya kepada salah satu utusan yaitu Raden Walsatha.

Ditariknya tangan Raden Walsatha dan diseret ke alun-alun sehingga terjadi perang ramai. Raden Walsatha kalah begitu juga Raden Jayasamba lari ketakutan lalu kembali ke Dwarawati. Raden Angkawijaya kembali menghadap ayahanda Raden Janaka. Disitulah Angkawijaya dimarahi, dianggap seorang pemuda yang tidak pernah prihatin, pemuda yang membosankan.

Lontaran kata-kata marah itu membuat ruangan bagaikan terbakar. Semua yang ada dalam pendapa bagaikan bara api. Rasanya semakin panas saja, sampai-sampai tak tertahankan. Semakin lama tubuh Raden Janaka gemetar dada berdetak kencang, tangan kanannya memegang tangkai keris Kyai Pulanggeni ingin segera ditusukkan pada perut Angkawijaya.

Pada saat itu larilah Raden Angkawijaya terhuyung-huyung meninggalkan pandapa kasatriyan Madukara. Seketika itu pula keris Kyai Pulanggeni mengacung ke depan, berdirilah Semar Badranaya di hadapan Janaka sambil berkata: “e….. ayo Janaka mumpung pusakamu Pulanggeni durung kok wrangkakake, iki lho wetenge Semar enya wrangkakna neng wetengku kene! ”

Terjemahan :
“he… Janaka ini mumpung keris Pulanggenimu belum kamu kembalikan ke kerangkanya, mari silahkan tusukkan pada perut Semar saja!”

Karena kekuatan sabda Sang Batara Semar Ismaya, terjatuhlah pusaka Pulanggeni dari tangan Janaka menyebabkan timbulnya kilat berkali-kali dalam pendapa kasatriyan Madukara. Ini semua justru membuat Janaka lebih marah, marah yang tidak bijaksana. Maka lebih marah lagi saat sang Batara Semar Ismaya bersabda di depan Janaka.

“e…. Janaka , yen kowe ngaku wong wicaksana. Yen ana kedadeyan kaya ngene iki rak digoleki apa sebabe. Ngakumu wae waskitha. Lho jebul ora krasa yen ta sumbere prakara iki dudu anakmu, nanging saka bundhele nalarmu bodhone pikirmu, sing kena pamblithute angkara budi cetha neng jroning atimu sing mahanani budimu iku dadi budining wong cupbluk. He Janaka, aku lunga!”

Terjemahan :
“he… Janaka, kalau memang kamu mengaku orang bijak, jika ada kejadian seperti ini, kamu harus mecari sebab musababnya. Kamu mengaku sebagai orang yang memiliki hormat yang tinggi. Tetapi ini semua hanya kesombongan yang bodoh. Kamu tidak terasa bahwa sumber perkara ini bukan anakmu, tetapi hanya karena kebodohanmu yang sampai sombong. Ini semua menyebabkan kemerosotan budi luhurmu. He.. Janaka, aku pergi!”

Kemarahan Sang Batara Ismaya (Semar) inilah yang membuat pikiran Raden Janaka bingung bertumpuk-tumpuk (tumpang tindih) tidak menentu. Akhirnya menyuruh Bagong agar mengikuti Angkawijaya agar jangan sampai celaka.

Persidangan Madukara dibubarkan, sementara Raden Janaka langsung masuk ke tempat pemujaan untuk bersemedi mohon berkah agar senantiasa mendapatkan kemudahan dengan segala yang dilakukan.

-==Adegan perjalanan Angkawijaya (Abimanyu).=--

Rasa heran bercampur sedih, bagi sang Angkawijaya. Bertanyalah dalam hatinya, mengapa justru peristiwa ini menimpa pada dirinya. Ki lurah Semar dan Bagong Mangundiwangsa sepanjang jalan mengikuti perjalanan Angkawijaya tak ada lain yang diperbuat kecuali hanya berdoa untuk sang Bagus. Sampai masuk dalam hutan, diganggu oleh raksasa dan kemudian terjadi perang. Akan tetapi raden Angkawijaya mampu membunuh raksasa-raksasa itu.

Selanjutnya perjalanan sampai pada sebuah candi yaitu candi Suta Rengga. Di situlah ia bersemedi, ditemani panakawan dengan penuh kesetiaan. Selama bersemedi, Bagong dan Besut bermain, berkelakar dengan kondisi alam di sekitarnya sambil senyum mengejek (cekikak cekikik)! Kemudian Semar menginginkan agar tidak berkelakar tetapi Bagong dan Besut malah semakin keras dalam kelakarnya. Akhirnya kelakar itu berhenti sendiri, sebab ada suara yang memanggilnya

“Semar, Bagong, Besut mendekatlah kepadaku” dan bertanyalah ketiga-tiganya “ada apa ndara” (wonten dhawuh ndara). Ternyata Angkawawijaya masih bersikap semedi, diam tanpa bersuara.

Ada kedengaran suara Angkawijaya memanggil-manggil lagi. Tetapi para panakawan melihat bendaranya kok masih diam. Besut yang menoleh ke belakang baru mengerti bahwa kini berhadapan dengan orang yang sama dengan bendaranya. Tidak berani omong, Besut kemudian menghitung jumlah mereka sendiri. Suara Besut dalam hati “tadi empat, sekarang kok lima”

Bagongpun begitu juga “lho… tadi empat sekarang kok lima”.

Demikian juga Semar “ae..ae..ae.. mau mung papat saiki kok dadi lima … e… lha sijinene sapa?”

Sementara mereka terdiam. Tetapi orang ke-5 yang rupanya sama dengan Angkawikaja lalu berkata “kakang Semar dan kamu para panakawan, ketahuilah, bahwa aku ini tuanmu yang lahir bersama dalam satu hari satu malam dengan Raden Angkawijaya, namaku Jim Pembayun” (“kakang Semar lan sira para panakawan, mangertia, aku iki bendaramu sing lair bareng sedina, sing dadi bareng sewengi, aranku Jim Pembayun”).

Setelah semua saling mengetahui, maka Jim Pembayun sanggup mempertemukan antara Angkawijaya dengan Siti Sundari.

Maka berangkatlah Angkawijaya menerima ajakan Jim Pembayun. Atas kuasa Semar, Bagong dan Besut bisa terbang dari candi Suta Rengga ke tamansari negara Dwarawati.

Setelah sampai di wilayah Negara Dwarawati di tempat yang dekat dengan tamansari, mereka berlima lalu mendarat. Angkawijaya langsung diajak masuk tamansari.

--=Jejer Tamansari Dwarawati.=--

Dewi Siti Sundari, putri mahkota yang sudah saling mencinta dengan Raden Angkawijaya dengan tiba-tiba perkawinannya digagalkan oleh prabu Baladewa, maka sedih sekali hati sang Ayu Siti Sundari. Dalam kesedihan sang dewi tidak mau tidur, tidak mau makan, tidak mau merawat tubuh. Kedua abdi emban sampai kerepotan dalam melayaninya.

Datanglah Sri Kresna di tamansari yang sebelumnya telah mengetuk pintu tamansari terlebih dahulu. Dibukakan pintu tamansari, maka masuklah Sri Kresna ke tamansari. Sri Kresna duduk di kursi dan sambil bertanya pada Siti Sundari “apakah kamu masih cinta dengan Angkawijaya”, begitulah pertanyaan Sri Kresna.

Dewi Siti Sundari menyatakan melalui sikapnya bahwa sekarang juga ingin bertemu dengan Angkawijaya yang dicintai itu. Seketika itu juga Sri Kresna lenyap yang ada Raden Angkawijaya dan Dewi Siti Sundari sedang sama-sama mengungkapan rasa rindu masing-masing. Sri Kresna juga memberi ijin kepada para panakawan untuk ikut berada di dalam tamansari.

Tiba-tiba Sri Kresna itu datang dan berteriak “pencuri, pencuri” (“maling…. maling”) tentu saja Semar kaget …. lalu semua masuk ruang dan tutup pintu. Tetapi lama-lama bahwa Sri Kresna tadi adalah Jim Pembayun yang di saat itu juga langsung menyelinap menutupi dirinya.

-==Adegan di Luar Tamansari.=--

Raden Jayasamba yang bersama-sama dengan Raden Harya Setyaki sedang berjaga-jaga untuk mengamankan barang-barang yang sudah dipersiapkan dalam menyongsong pesta perkawinan Dewi Siti Sundari dengan putra mahkota kerajaan Astina Raden Bagus Lasmana Mandrakumara. Dalam hati Raden Jayasamba ada perasaan aneh dan mencurigakan. Maka Setyaki dan Jayasamba harus bersikap lebih waspada. Ternyata di dalam tamansari ada orang laki-laki. Raden Jayasamba lalu berada pada tempat yang lebih terang. Sambil jalan menunduk, melihat kanan, kiri, dan belakang, rasa kecurigaannya semakin tinggi untuk situasi pada saat itu.

Raden Jayasamba cepat-cepat menyapa pada bayang-bayang hitam itu, katanya agak kasar dan keras :

Jayasamba : “He…bengi-bengi wayah ngene Kok ana swara priya neng tamansari. Sapa? Apa sing jaga regol?”
Bayangan : ”Hi…inggih kula pun jaga regol”
Jayasamba : “Lho.., kok kaya sing jaga tamansari”
Bayangan : “Inggih kula sing jaga tamansari”
Jayasamba : “Apa kanjeng wa Baladewa”
Bayangan : “Inggih.. kula wa Baladewa”
Jayasamba : “Kok kaya paman Haryo Setiyaki”
Bayangan : “Inggih kula paman Setiyaki”
Jayasamba : “Apa Raden Jayasamba?”
Bayangan : “Inggih kula Raden Jayasamba”

Raden Jayasamba menubruk bayangan hitam itu sambil berteriak “o…maling”. Terjadilah peperangan antara Jayasamba melawan bayangan itu. Namun betapa kagetnya Jayasamba bahwa yang dilawan itu, tiba-tiba kok sama persisi dengan dirinya. Ternyata Jayasamba yang pertama kalah dan larilah ia minta tolong kepada Harya Setiyaki. Dalam peperangan itu Setiyaki pun juga berperang melawan Setiyaki. Karena Setiyaki pun dikembari dan perangnya pun kalah, maka keduanya cepat-cepat lapor ke Prabu Baladewa.

-==Adegan Kerajaan Dwarawati.=--

Prabu Sri Batara Kresna bersama-sama kakanda raja Mandura Prabu Baladewa. Keduanya berbicara tentang perkawinan (daupnya) Siti Sendari yang atas kehendak Prabu Baladewa akan dijadikan isterinya Raden Lasmana Mandrakumara. Prabu Sri Batara Kresna sama sekali tidak merespon pada kehendak Prabu Baladewa.

Namun Baladewa yang sering masih silau dengan barang duniawi merasa ikut mengangkat Siti Sendari untuk berada di tempat yang lebih tinggi dari pada kawin dengan Raden Angkawijaya.

Datanglah Raden Samba dan Raden Harya Setiyaki, melaporkan bahwa di tamansari ada pencuri (duratmaka) yang berani mengganggu ketenteraman Dwarawati. Dilaporkan juga bahwa pencurinya sakti bisa berubah-ubah rupa berwujud siapa saja. Pencuri itu menantang dan mengatakan siapa berani dengannya, terutama Prabu Baladewa.

Bagaikan dipukul (ditebah) dada Prabu Baladewa, seketika itu juga meloncatlah Prabu Baladewa ke tamansari untuk menemui si pencuri. Namun…, begitu sampai di tamansari bertemulah Prabu Baladewa dengan Prabu Baladewa, yang serupa tanpa ada bedanya sedikitpun.

Terjadilah perang mulut yang sangat ramai, di mana Prabu Baladewa yang asli sangat marah sekali, tetapi Prabu Baladewa yang di tamansari hanya tertawa saja. Baladewa tamansari dipegang dan dihantamkan ke pohon tetapi hanya diam dan tertawa. Kebalikannya Baladewa Dwarawati dipegang diangkat oleh Baladewa tamansari kemudian terus dilepas. Maka tertancaplah ke tanah Baladewa Dwarawati dan ditertawai oleh Baladewa tamansari.
Prabu Kresna datang ke tempat dimana pencuri itu berada namun dari kejauhan Prabu Kresna berteriak “hayo… maling, ketanggor karo kakangku, mesthi mati.” Prabu Baladewa yang tertancap di tanah merasa dihina, maka berkatalah prabu Baladewa “Iah ngenyeeek…., aku tulungana dhimas!” Setelah ditolong, Prabu Baladewa istirahat di Dwarawati. Sedangkan Sri Kresna terbang ke Amarta untuk minta bantuan para Pandawa guna mengusir pencuri yang ada di tamansari Dwarawati.

--=Jejer Karajaan Amarta.=--

Prabu Puntadewa beserta saudara-saudaranya sedang membicarakan tentang digagalkannya perkawinan ananda Angkawijaya yang mengakibatkan kemarahan Janaka dan mengusir Angkawijaya.

Hingga kini tak ada yang mengetahui di mana tempat Raden Angkawijaya. Tidak lama kemudian datang Sri Kresna yang menjelaskan duduk perkara tentang digagalkanya perkawinan Angkawijaya dengan Siti Sendari bersumber pada Sri Baladewa.

Atas kehendak Sri Kresna tidak usah diperpanjang perkara ini. Yang penting kini pencuri di tamansari Dwarawati harus diusir dulu. Sesudah itu baru perkawinan antara Angkawijaya dengan Siti Sendari dibicarakan lagi.

Pencuri di tamansari Dwarawati tak bisa dikalahkan oleh siapapun. Tetapi setelah Arjuna yang maju, pencurinya tidak mau merubah wujudnya menjadi Arjuna, justru ia lari sambil berkata: “Kalau saya berani melawan Arjuna , saya akan berdosa.” Seketika itu pencuri tadi berwujud Jim pembayun, dan kembali ke tubuh Angkawijaya yang sedang bermesraan dengan Siti Sendari. Sri Baladewa dalam hal ini tidak berbuat banyak. Malahan menerima tanggung jawab mengusir orang Astina dan yang lainnya. Perkawinan Angkawijaya dengan Siti Sendari terlaksana dengan tenang damai meriah tanpa aral melintang.

Perlu diketahui bahwa pakem di atas adalah pakem pakeliran Jawatimuran versi Mojokerta-an. Lakon tersebut dibawakan oleh Ki Dalang Cung Wartanu.

sumber : wayangprabu.com